Tingkat kecelakaan kerja di sektor konstruksi saat ini masih tinggi. Sehingga penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) menjadi hak yang penting untuk diimplementasikan di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dikutip dari situs Kementerian Pekerjaan Umum, Jumat (11/12/2015), data mengenai proporsi kecelakaan kerja di Indonesia sektor konstruksi menjadi penyumbang terbesar bersama dengan industri manufaktur sebesar 32 persen, berbeda dengan sektor transportasi (9 persen), kehutanan (4 persen) dan pertambangan (2 persen).
Sekretaris Ditjen Bina Konstruksi, Panani Kesai menuturkan, mengenai kegagalan konstruksi dan atau kegagalan bangunan bisa terjadi pada dua kondisi, pertama, pada saat terjadi proses konstruksi, kondisi ini yang dapat berdampak pada kecelakaan yang dialami langsung oleh para pekerja.
Kedua, kegagalan bangunan dapat terjadi pada masa pembangunan yang telah selesai dikerjakan / pada masa pemeliharaan pembangunan dimana terdapat proses inspeksi untuk mengukur atau menilai kualitas infrastuktur, misalnya Bendungan, kualitas jembatan, dan bangunan, hal ini dalam workshop tersebut disebut keselamatan infrastruktur, yang di Indonesia sendiri dikenal dengan istilah SMK3 (Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja) yang jika tidak menjadi perhatian khusus akan berdampak pada kecelakaan yang menimpa masyarakat.
Panani mencontohkan, beberapa kasus kecelakaan kerja, kegagalan konstruksi dan atau kegagalan bangunan yang terjadi beberapa tahun terakhir antara lain, robohnya Jembatan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur (November 2011) yang terjadi pada saat pekerjaan pemeliharaan dilakukan (kegagalan bangunan), runtuhnya hanggar bandara udara Sultan Hasanudin (Kecelakaan Kerja) (Maret 2015), Tergulingnya crane di proyek normalisasi sungai Ciliwung (Oktober 2015) (Kecelakaan Kerja), serta Robohnya deck jembatan I Dompak (Oktober 2015) karena kecelakaan kerja, telah menimbulkan korban dan kerugian jiwa, harta benda, serta lingkungan yang besar.
“Fakta-fakta di lapangan menurut temuan Direktorat Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, DJBK, menyatakan implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di proyek-proyek pembangunan infrastruktur PUPR belum diterapkan sebagaimana mestinya, hal ini menunjukan bahwa tingkat kepedulian terhadap K3 masih sangat rendah”, tutur Panani.
Kedua, kegagalan bangunan dapat terjadi pada masa pembangunan yang telah selesai dikerjakan / pada masa pemeliharaan pembangunan dimana terdapat proses inspeksi untuk mengukur atau menilai kualitas infrastuktur, misalnya Bendungan, kualitas jembatan, dan bangunan, hal ini dalam workshop tersebut disebut keselamatan infrastruktur, yang di Indonesia sendiri dikenal dengan istilah SMK3 (Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja) yang jika tidak menjadi perhatian khusus akan berdampak pada kecelakaan yang menimpa masyarakat.
Panani mencontohkan, beberapa kasus kecelakaan kerja, kegagalan konstruksi dan atau kegagalan bangunan yang terjadi beberapa tahun terakhir antara lain, robohnya Jembatan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur (November 2011) yang terjadi pada saat pekerjaan pemeliharaan dilakukan (kegagalan bangunan), runtuhnya hanggar bandara udara Sultan Hasanudin (Kecelakaan Kerja) (Maret 2015), Tergulingnya crane di proyek normalisasi sungai Ciliwung (Oktober 2015) (Kecelakaan Kerja), serta Robohnya deck jembatan I Dompak (Oktober 2015) karena kecelakaan kerja, telah menimbulkan korban dan kerugian jiwa, harta benda, serta lingkungan yang besar.
“Fakta-fakta di lapangan menurut temuan Direktorat Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, DJBK, menyatakan implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di proyek-proyek pembangunan infrastruktur PUPR belum diterapkan sebagaimana mestinya, hal ini menunjukan bahwa tingkat kepedulian terhadap K3 masih sangat rendah”, tutur Panani.
sumber : liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar